Kamis, 08 Maret 2012

kisah abu nawas


Abu Nawas dan Pengemis yang Kedinginan dalam Kolam
Ada seorang saudagar di Bagdad yang mempunyai sebuah kolam yang airnya terkenal sangat dingin.
Konon tidak seorangpun yang tahan berendam didalamnya berlama-lama, apalagi hingga separuh
malam.
“Siapa yang berani berendam semalam di kolamku, aku beri hadiah sepuluh ringgit,” kata saudagar itu.
Ajakan tersebut mengundang banyak orang untuk mencobanya. Namun tidak ada yang tahan semalam,
paling lama hanya mampu sampai sepertiga malam.
Pada suatu hari datang seorang pengemis kepadanya. “Maukah kamu berendam di dalam kolamku ini
semalam? Jika kamu tahan aku beri hadiah sepuluh ringgit,” kata si saudagar.
“Baiklah akan kucoba,” jawab si pengemis. Kemudian dicelupkannya kedua tangan dan kakinya ke
dalam kolam, memang air kolam itu dingin sekali. “Boleh juga,” katanya kemudian.
“Kalau begitu nanti malam kamu bisa berendam disitu,” kata si saudagar.
Menanti datangnya malam si pengemis pulang dulu ingin memberi tahu anak istrinya mengenai
rencana berendam di kolam itu.
“Istriku,” kata si pengemis sesampainya di rumah. “Bagaimana pendapatmu bila aku berendam
semalam di kolam saudagar itu untuk mendapat uang sepuluh ringgit? Kalau kamu setuju aku akan
mencobanya.”
“Setuju,” jawab si istri, “Moga-moga Tuhan menguatkan badanmu.”
Kemudian pengemis itu kembali ke rumah saudagar. “Nanti malam jam delapan kamu boleh masuk ke
kolamku dan boleh keluar jam enam pagi,” kata si saudagar, “Jika tahan akan ku bayar upahmu.”
Setelah sampai waktunya masuklah si pengemis ke dalam kolam, hampir tengah malam ia kedinginan
sampai tidak tahan lagi dan ingin keluar, tetapi karena mengharap uang upah sepuluh ringgit,
ditahannya maksud itu sekuat tenaga. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar airnya tidak terlalu
dingin lagi. Ternyata doanya dikabulkan, ia tidak merasa kedinginan lagi. Kira-kira jam dua pagi
anaknya datang menyusul. Ia khawatir jangan-jangan bapaknya mati kedinginan. Hatinya sangat
gembira ketika dilihat bapaknya masih hidup. Kemudian ia menyalakan api di tepi kolam dan
menunggu sampai pagi.
Siang harinya pengemis itu bangkit dari kolam dan buru-buru menemui si saudagar untuk minta
upahnya. Namun saudagar itu menolak membayar, “Aku tidak mau membayar, karena anakmu
membuat api di tepi kolam, kamu pasti tidak kedinginan.”
Namun si pengemis tidak mau kalah, “Panas api itu tidak sampai ke badan saya, selain apinya jauh,
saya kan berendam di air, masakan api bisa masuk ke dalam air?”
“Aku tetap tidak mau membayar upahmu,” kata saudagar itu ngotot. “Sekarang terserah kamu, mau
melapor atau berkelahi denganku, aku tunggu.”
Dengan perasaan gondok pengemis itu pulang ke rumah, “Sudah kedinginan setengah mati, tidak dapat
uang lagi,” pikirnya. Ia kemudian mengadukan penipuan itu kepada seorang hakim. Boro-boro
pengaduannya di dengar, Hakim itu malahan membenarkan sikap sang saudagar. Lantas ia berusaha
menemui orang-orang besar lainnya untuk diajak bicara, namun ia tetap disalahkan juga.
“Kemana lagi aku akan mengadukan nasibku ini,” kata si pengemis dengan nada putus asa. “Ya Allah,
engkau jugalah yang tahu nasib hamba-Mu ini, mudah-mudahan tiap-tipa orang yang benar engkau
menangkan.” Doanya dalam hati.
Ia pun berjalan mengikuti langkah kakinya dengan perasaan yang semakin dongkol. Dengan takdir
Allah ia bertemu dengan Abu Nawas di sudut jalan.
“Hai, hamba Allah,” Tanya Abu Nawas, ketika melihat pengemis itu tampak sangat sedih. “mengapa
anda kelihatan murung sekali? Padahal udara sedemikian cerah.”
“Memang benar hamba sedang dirundung malang,” kata si pengemis, lantas diceritakan musibah yang
menimpa si pengemis sambil mengadukan nasibnya.
“Jangan sedih lagi,” kata Abu Nawas ringan. “Insyaallah aku dapat membantu menyelesaikan
masalahmu. Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah caraku, niscaya kamu menang dengan izin
Allah.”
“Terima kasih banyak, anda bersedia menolongku,” kata si pengemis. Lantas keduanya berpisah. Abu
Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan menghadap Baginda Sultan di Istana. “Apa kabar, hai Abu
Nawas?” sapa Baginda Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. “Ada masalah apa gerangan
hari ini?”
“Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “jika tidak keberatan patik silahkan baginda
datang kerumah patik, sebab patik punya hajat.”
“Kapan aku mesti datang ke rumahmu?” tanya baginda Sultan.
“Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku,” jawa Abu Nawas.
“Baiklah,” kata Sultan, aku pasti datang ke rumahmu.”
Begitu keluar dari Istana, Abu Nawas langsung ke rumah saudagar yang punya kolam, kemudian ke
rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada
mereka Abu Nawas menyampaikan undangan untuk datang kerumahnya senin depan.
Hari senin yang ditunggu, sejak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh dengan tamu yang
diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di permadani yang sebelumnya telah di gelar oleh
tuan rumah sesuai dengan pangkat dan kedudukan masing-masing. Setelah semuanya terkumpul, Abu
Nawas mohon kepada sultan untuk pergi kebelakang rumah, ia kemudian menggantung sebuah periuk
besar pada sebuah pohon, menjerangnya – menaruh di atas api.
Tunggu punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun memanggil Abu
Nawas, “kemana gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah nasinya atau belum?” gerutu Sultan.
Rupanya gerutuan Sultan di dengar oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, “Tunggulah sebentar lagi,
tuanku Syah Alam.”
Baginda pun diam, dan duduk kembali. Namun ketika matahari telah sampai ke ubun-ubun, ternyata
Abu Nawas tak juga muncul dihadapan para tamu. Perut baginda yang buncit itu telah keroncongan.
“Hai Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar, kata Baginda.
“Sebentar lagi, ya Syah Alam,” sahut tuan rumah.
Baginda masih sabar, ia kemudian duduk kembali, tetapi ketika waktu dzuhur sudah hampir habis tak
juga ada hidangan yang keluar, baginda tak sabar lagi, ia pun menyusul Abu Nawas dibagian belakang
rumah, di ikuti tamu-tamu lainnya. Mereka mau tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan tuan rumah,
ternyata Abu Nawas sedang mengipa-ngipas api di tungkunya.
“Hai Abu Nawas, mengapa kamu membuat api di bawah pohon seperti itu? Tanga baginda Sultan.
Abu Nawas pun bangkit, demi mendengar pernyataan baginda. “Ya tuanku Syah Alam, hamba sedang
memasak nasi, sebentar lagi juga masak,” jawabnya.
“Menanak nasi?” tanya baginda, “Mana periuknya?”
“Ada, tuanku,” jawab Abu nawas sambil mengangkat mukanya ke atas.
“Ada?” tanya beginda keheranan. “Mana?” ia mendongakkan mukanya ke atas mengikuti gerak Abu
Nawas, tampak di atas sana sebuah periuk besar bergantung jauh dari tanah.
“Hai, Abu Nawas, sudah gilakah kamu?” tanya Sultan. “Memasak nasi bukan begitu caranya, periuk di
atas pohon, apinya di bawah, kamu tunggu sepuluh hari pun beras itu tidak bakalan jadi nasi.”
“Begini, Baginda,” Abu Nawas berusaha menjelaskan perbuatannya. “Ada seorang pengemis berjanji
dengan seorang saudagar, pengemis itu disuruh berendam dalam kolam yang airnya sangat dingin dan
akan diupah sepuluh ringgit jika mampu bertahan satu malam. Si pengemis setuju karena mengharap
upah sepuluh ringgit dan berhasil melaksanakan janjinya. Tapi si saudagar tidak mau membayar,
dengan alasan anak si pengemis membuat api di pinggir kolam.” Lalu semuanya diceritakan kepada
Sultan lengkap dengan sikap tuan hakim dan para pembesar yang membenarkan sikap si saudagar.
“Itulah sebabnya patik berbuat seperti ini.”
“Boro-boro nasi itu akan matang,” kata Sultan, “Airnya saja tidak bakal panas, karena apinya terlalu
jauh.”
“Demikian pula halnya si pengemis,” kata Abu Nawas lagi. “Ia di dalam air dan anaknya membuat api
di tanah jauh dari pinggir kolam. Tetapi saudagar itu mengatakan bahwa si pengemis tidak berendam di
air karena ada api di pinggir kolam, sehingga air kolam jadi hangat.”
Saudagar itu pucat mukanya. Ia tidak dapat membantah kata-kata Abu Nawas. Begitu pula para
pembesar itu, karena memang demikian halnya.
“Sekarang aku ambil keputusan begini,” kata Sultan. “Saudagar itu harus membayar si pengemis
seratus dirham dan di hukum selama satu bulan karena telah berbuat salah kepada orang miskin.
Hakim dan orang-orang pembesar di hukum empat hari karena berbuat tidak adil dan menyalahkan
orang yang benar.”
Saat itu juga si pengemis memperoleh uangnya dari si saudagar. Setelah menyampaikan hormat kepada
Sultan dan memberi salam kepada Abu Nawas, ia pun pulang dengan riangnya. Sultan kemudian
memerintah mentrinya untuk memenjarakan saudagar dan para pembesar sebelum akhirnya kembali
ke Istana dalam keadaan lapar dan dahaga.
Akan halnya Abu Nawas, ia pun sebenarnya perutnya keroncongan dan kehausan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar